Sabtu, 10 Maret 2018

Pesona Gemuruh Air Terjun Tamasapi


Air terjun Tamasapi (Pict. Kak Ansari)
"Husssss...bising gemuruh air sangat terasa dari tempatku berpijak. Saya memilih tempat yang cukup dekat sampai mataku pun tak bisa kubuka karena terpaan air yang jatuh begitu deras"

Sebut saja saya menyusup di antara mereka. Sekedar ikutan karena nggak punya teman jalan di Mamuju. Mereka (Kakak-kakak Mamuju Mengajar, red) akhirnya menjadi teman saya. Banyak  terima kasih untuk mereka, karena telah menyelipkan saya di agenda reunian ini, yang harusnya menjadi agenda privasi kalian. Hehehhe.

Pasang gaya dulu sebelum berangkat
Setelah menyiapkan segalanya, mulai dari nunggu kakak-kakak yang lain sampai mempersiapkan bekal agar kami tetap hidup. Yupz, kali ini ada menu ayam palekko ala Chef Kia dan Chef Darna. Mereka adalah dua perempuan hebat asal Mamuju sana dan cukup terbilang aktif dalam kegiatan relawan pendidikan. Pokoknya "aku padamu" deh both of you guys. Kami berangkat sekitar pukul 14.10 Wita dengan menggunakan sepeda motor. Awalnya saya masih malu gabung sama mereka, tapi karena ada Mas Bro yang udah saya anggap adek sendiri, jadilah all be fine.

Perjalanan menuju air terjun Tamasapi hanya memakan waktu 30 menit saja. Lokasinya berjarak 70 kilometer dari Ibu Kota. Seperti biasa, yang namanya air terjun, sangat jarang berlokasi di pinggiran jalan. Selalu ada adegan tracking dengan jalan yang sedikit berkerikil. Untuk pemburuan kali ini, jika saya bandingkan dengan perjalanan-perjalanan yang pernah saya alami, jalannya ya' lumayan. Lebih sulit jalan waktu saya menyusuri air terjun "Sarambu Tande" di Uru, Enrekang sana. It was my unforgettable moment.

Sebenarnya masuk ke air terjun Tamasapi bisa menggunakan motor kok. Cuman kalau motornya termasuk motor trail, ya' itu bisa. Tapi kalau mau pakai motor metik atau motor gedde yang lebih enak di jalan mulusan. Saya sarankan, motornya di simpan di bahu jalan depan aja. Kecuali kalau situ kuat bawanya. Sok atuh dicoba, tapi tanggung sendiri akibatnya.

Kami pun awalnya nekat membawa sepeda motor sampai bertemu air terjun. Tapi belum sampai seperempat jalan, beberapa teman sudah mulai kewalahan mengendalikan motornya, kecuali si Bapak Polisi dan Kak Ansari(Tim saya di KI Mateng). Saya saja sempat dipaksa naik di bocengan sama Mas Bro. Ya okelah saya iyakan, tapi yang ada malah semakin ribet. Beban bawaan nih bocah semakin banyak. Belum mengendalikan motor metik yang aslinya punya orang, terus ada termos gedde juga yang kami angkut di motor. Akhirnya saya memutuskan turun dan berjalan kaki dengan perempuan-perempuan lainnya sambil menenteng bawaan yang nyangkut di motor kami.

Untuk tracking ke area air terjun hanya 1 kilo lebih saja. Tapi lelahnya nggak akan  terasa karena di sepanjang jalan ada banyak pohon dan ada sungai juga yang menghiasi pemandangan di sisi kiri jalan. Belum lagi kalau jalannya sambil cerita, sudahlah lelahnya semakin tidak terasa. Tau-tau udah sampai saja di air terjunnya. Tapi nyatanya saya agak telat jalannya. Sampai-sampai Kak Ansari dua kali bolak-balik nyariin kami. Lantaran, si photographer ini mau ngambil foto dulu katanya jadi pas ketemu spot foto ait terjun mini, jadilah saya diminta tuk fotoin nih anak. Anggap saja ini risiko jalan sama photographer, dikit-dikit foto, dikit-dikit minta difoto. Padahal saya juga gitu sih, teman-teman kadang nunggu lama lantaran saya ngambil foto dulu. Makluminlah, kita ini.

Dan akhirnya setelah sekian lama berjalan, air terjunnya nampak sudah. Kakak-kakak yang lain sudah mengambil posisi berkerumun di satu batu besar. Lah saya masih berpikir mau mendekat atau tidak. Soalnya waktu itu baju saya pakai agak tipisan jadi khawatir kena air. Berhubung saya kebelet main air walau baju tipis dan dipesanin sama orang rumah untuk tidak mandi, jaket yang saya pakai dikorbanin juga. Ya udah basah aja sekalian, sekali ini juga.

Ukhti in a frame

Saya memilih batu kecil dibelakang mereka. Dimana posisi batu itu lumayan dekat dengan air terjunnya. Sumpah, cipratan air yang disertai gemuruh dan angin kencang melibas diriku. andai saja saya tidak berpegangan, sudahlah saya bisa terbang kebawa angin. Memang sih, Cuaca lagi tidak bersahabat. Sebelumnya Mamuju diguyur hujan lebat, jadilah wajar saja debit air terjunnya semakin besar.

Foto dulu biar kenyang :D

Ini gaya kami
See you nex time guys
 Air terjun Tamasapi recommended banget buat kamu penikmat wisata alam. Jalan ke lokasi cukup bersahabat. Terletak di Dusun Tamasapi, Kelurahan Mamunyu, Kecamatan Mamuju. Dengan ketinggian air tejun sekitar 57 meter. Di sana ada dua buah gazebo besar yang terbuat dari batu semen dan ada toilet juga. Sayangnya, fasilitas tersebut sama sekali tidak terurus. Dari apa yang saya lihat, bangunan tersebut masih tergolong baru. Hanya saja minim perawatan. Kalau dari awal nggak niat dijaga, sekalian dibiarin natural aja air terjunnya. hehe, saran aja ini. Over all, saya senang. Baru kali ini bisa mencicipi air tejun di Mamuju. Big thanks to my travelmate and all crew of Mamuju Mengajar.

Kamis, 08 Maret 2018

Menginspirasi di Kota Mateng


Kelaurga Besar Tim 1 Bulurembu (pict. Kak' Dana)
Dengan niat dan tekad yang bulat, saya akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Mamuju Tengah (Mateng).Daerah yang hanya sering kudengar dari orang-orang tanpa pernah mengunjunginya sekali pun. Perjalanan kali ini termasuk perjalanan yang sangat berani. Kenapa demikian ? Karena ini adalah perjalanan pertamaku melintasi Ibu kota dengan menggunakan sepeda motor. Yang notabenenya jarak daerah tersebut sangat jauh dari tempatku bermukim. Syukurnya ada teman yang setia menjadi my travelmate.

Kami berangkat pukul 09.35 dari Pamboang bersama empat orang kawan lainnya. Ada Kak Tina, Kak Linda, Kak Anto, dan Kak Hadri. Mereka sudah sering mengikuti kegiatan seperti ini.Bahkan mereka adalah sesepuh di KI. Termasuk Kak Ilham yang berbaik hati memberikan saya tumpangan. Meski baru kenalnya di malam sebelum keberangkatan.

Jadi kami ada tiga motor melaju menyising poros Ibu Kota demi menunaikan niatan mulia kami, menginspirasi anak bangsa. Awalnya saya sedikit malu dengan mereka, karena ini kali pertamaku mengikuti kegiatan di Sulawesi Barat, daerahku sendiri. Maklum saja, kegiatan komunitas dan organisasi lebih aktif di Makassar. So no one knows me here. Kendati demikian saya sangat antusias bergabung menjadi relawan pengajar. Sampai mikir mau naik apapun pergi, mobil sayur, numpang-numpang mobil orang juga saya jabani. Asal nggak jalan kaki, bisa kelar kegiatannya baru saya tiba. Hehehe...

Perjalanan yang sangat menyenangkan. Menikmati hijaunya pohon-pohon di seberang kanan kiri jalan. Ditemani teman-teman yang ketjeh dan baik hati. Meski pegal dan lelah mulai menggerogoti. Tapi itu semua terbayar dengan sambutan hangatnya kakak Yufico, anak TNT yang bermukim di Mamuju. Rumahnya pun juga tak jauh dari rumah kakak saya. Cuman lokasinya agak di belakang kompleks.

Berhubung hari Jum'at, pas tiba di rumah kak Yufico, kakak kaum adam terlebih dahulu menunaikan kewajibannya sebagai muslim yang keren (Jumatan yuk, biar keren).Dan kami tiga orang kaum hawa merebahkan diri, mengistirahatkan lelah. Nyamannya.

Feel at home. Itu yang kami rasa saat mampir ke rumah kak Yufico. Kami nggak sungkan ketawa terbahak-bahak, ribut, selonjoran, bahkan masak sendiri. Biarpun lunch-nya hanya makan mie, tapi bersama mereka serasa makan ayam bakar rica-rica dengan segepok nasi panas, ditemani lalapan-lalapan segar. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan.

Kalau udah ngumpul dan ngebahas banyak hal dengan teman-teman itu emang kadang bikin lupa waktu. Nggak terasa udah pukul 14.25 aja. Perjalanan ke Mateng masih sangat jauh. Sekitar empat jam. Kami berangkatnya tidak berengan. Saya dan Kak Ilham memisahkan diri karena mampir ke rumah kakak dulu. Sekitar pukul 15.00 kami akhirnya berangkat menyusul yang lainnya. Di jalan kami janjian dengan Kak Aswin, lelaki berambut gondrong sebahu dengan jenggot halus sejumput nampak keren dengan motor classic bak Dilan versi Mamuju.I called him Dilan 1980. Hahahha.Kak Aswin adalah teman Kak Ilham di Mamuju Mengajar.Dia juga yang punya mamuju seperempat jadi wajar kalau jalan pintas menuju Mateng pun dia tahu.

Saya sangat menikmati perjalanan ini. Suguhan alam nan indah terhampar luas di sepenjang jalur yang saya lewati. Terutama ketika memasuk wilayah Mateng. Kami disambut dengan rentetan pohon sawit yang padat di pinggri jalan. Saya suka udarnya. Saya tak pernah berhenti berdecak kagum, sambil mengangkat kaca helm dan menikmati pemandangan Mateng. Di sepanjang jalan, kami juga beberapa kali singgah menyapa para relawan lainnya. Kebetulan tempatku yang agak jauh, di jalan poros dekat Topoyo. Kalau yang lain tempatnya agak belok masuk gitu. Karena udah jam 18.10 akhirnya kami tiba di rumah salah satu fasilitator tim Pottanakayanng, timnya Kak Ilham. Sedang saya harus menunggu jemputan dari kakak fasil Bulurembu. Hingga akhirnya Kak Angga (perempuan) menjemputku dan langsung berangkat ke Bulurembu. Welcome to Mateng Yuuka.

***

Malam yang sunyi. Saya memerhatikan sekitar. Namun semuanya nampak tak jelas. Hanya ada Sebuah rumah panggung terletak di samping mesjid dan agak menjorok ke bawah. Dengan lampu penerang di teras yang menyilaukan mata. Akhirnya saya tiba di markas tim Bulurembu, tim satu yang sekolahnya terletak di pinggir jalan poros. Namun tak sebagus sekolah-sekolah SD di kampungku.

Kedatanganku disambut hangat oleh kakak fasil. Ada Kak Neni dan Kak Gusti. Mereka orangnya asyik diajakain bercanda. Semua fasil yang lain di tim kami pun demikian, termasuk Kak Rhara dan Kak Angga. Ternyata relawan yang lain belum pada datang. Kecuali lelaki berjenggot yang duduk di kursi pojokan itu. Awalnya kukira dia siapa, ternyata Kak Dana. Foto yang di profil WA jauh berbeda dengan yang asli. Kak Dana relawan photographer dari Makassar, lulusan s2 UI Depok, Psikologi. Keren banget jurusannya kak. Orangnya asyik. Walau style-nya asli ikhwan tapi tetap enak diajak bercandaan. Jadi kami nggak perlu waktu lama untuk mengakrabkan diri satu sama lain.

Setelah ngobrol renyah ditemani cemilan yang teronggok di meja yang entah milik siapa, kami akhirnya makan malam juga. Padahal aslinya saya lupa kalau tadinya saya merasa lapar, karena larut dalam bincang-bincang ala kami. Kami semua langsung bergegas membantu Ibu tetangganya Bapak yang menyiapkan kami makan malam spesial. Ada sayur rebung yang tak pernah kucicipi sebelumnya. Katanya khas di sana dan wajib coba. Dan emang rasanya gurih, rebungnya pun juga lembut. Kami tanpa malu-malu melahap makanan yang disajikan Ibu yang cek per cek Ibu tersebut ternyata berasal dari Polewali Mandar. Saya langsung sedikit malu-malu, lantaran tak bisa membalas obrolan beliau dalam bahasa mandar seutuhnya. Maklum saja guys, saya tidak pandai dalam speaking. Kalau pun saya berusaha mencoba, aslinya kedengaran nggak bagus. Dan Kakak Ilham melabeli saya "Mandar Palsu". Ya Allah, I love Mandar much.
After all, kami lanjut dengan mempersiapkan properti take action kelas inspirasi. Sembari mengerjakan, kami juga menunggu kedatangan kakak-kakak relawan yang belum nongol-nongol juga. Seiring waktu berlalu, akhirnya satu persatu kakak relawan berdatangan. Ada Kak Ria dan Kak Santi, si duo cantik dari Mateng. Lalu disusul kedatangan Kak Whiya, ukhti berjilbab besar yang cantiknya MasyaAllah bikin saya pangling. Lalu ada Kak Adi, cowok yang paling kalem dan hemat berbicara. Next ada kak Aprianto polisi muda yang sangat ditunggu kedatangannnya bersama satu kawannya yang juga ternyata ada relawan di tim kami, cuman dia menutupi indentitiasnya, jadinya saya nda tahu namanya siapa. Yang jelas dia pria berhidung mancung dan berkulit gelap, dan sedikit manis (Karena yang banyak manisnya itu saya. Iyain aja !). Di akhir saya baru tahu kalau namanya adalah Kak Ahmad. Nongol bentar doang, lalu nggak balik-balik sampai hari H. And the last, ada Ibu Hasni. Ibu yang nyantai banget kalau gabung sama kita-kita. Ternyata beliau udah rana melintang di dunia kelas inspirasi. Cocoklah beliau disebut sesepuh.

Finally, persiapan propertinya sudah kelar semua. Kakak relawan yang lain bergegeas istirahat karena udah lewat pukl 12.00. Sedangkan saya masih belum ingin. Rasa lelah dan kantuk yang awalnya membabi buta seakan sirna karena jam tidurku udah lewat. Jadinya saya memilih menemani kakak fasil mengunggu tiga orang relawan yang belum jua menampakkan batang hidugnya. Beberapa jam menunggu, saya akhirnya pamit mengistirahatkan lelah. Kasihan tubuh, esok kita harus nampak segar dna ceria di hadapan para siswa. Kan nggak mungkin kami menginspirasi dengan muka bantal yang sesekali menguap di dalam kelas. Jangan sampai.

Di dalam kamar kami pun merebahkan diri, tapi ternayata nggak ada yang berhasil benar-benar terlelap. Saya, Kak Ria, Kak Sinta, dan Kak Whiya malah ngobrol ngelantur nunggu ngantuk mejemput. Berbagai posisi tidur pun kami coba tapi nggak bisa-bisa. akhirnya ngobrol aja kaminya, lebh mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya tidak ada lagi suara yang terdengar. Dimana sebelumnya sempat digaduhkan dengan kedatangan Kak Fhira, kakak yang bekerja di BNN Mamuju, lalu disusul dengan Kak Ansari, seorang enterpreneur dan sahabatnya Kak Raka, penjaga lapas yang jatohnya malah seperti model. Selamat tidur. Tidur yang nyenyak kakak.

***
Pagi yang membuatku deg-degan akhirya tiba juga. Meski masih ngantuk dan masih pengen berlehe-lehe di kamar, kami sigap ngantri mandi subhu-subhu. Karena kamar mandi hanya ada satu jadi musti cepat mandinya, terlebih agendanya early morning. Tapi syukurlah lancar jaya saja.

Di sekolah sebelum masuk ke kelas-kelas, kami mengumpulkan siswa lalu upacara bersama. Kemudian sedikit ada perkenalan di awal oleh kakak-kakak relawan yang dilanjutkan ke dalam kelas-kelas. Nah kesempatan kali ini saya mendapatkan jatah empat kelas, ada kelas lima, Enam, Dua, dan Tiga. Di dalam kelas, masing-masing kami memperkenalkan profesi kami. Yang berseragam kayak Polisi, tentara dan lain sebagainya akan sangat mudah diketahui. Lah saya, dengan pakaian biasa aja, siswa-siswa nggak tahu profesi saya apa sebenarnya. "Jangankan kamu dek, Kakak pun bingung, profesi kakak apa." :D Tapi kali ini saya memperkenalkan diri sebagai Tutor di salah stau kursusan ketjeh di Polewali Mandar. "Kalau adek-adek belum ngerti juga. Okelah, sebut saya apa saja." Bahkan ada sekelas siswa nyeletuk bilang "Tukang". Hahahhah, ada-ada aja anak sekolahan. Setengah hari berjibaku sama mereka, lumayan capek juga sih, tapi capeknya yang ngenakin. Masih unbelievable aja, akhirnya saya bisa ikut kegiatan seperti ini, bertemu orang baru, sampai nekat nebeng padahal nggak kenal.

We are first team forever (doc.)


Tim Ketjeh *Barisan depan sekamar (pict. Kak Dana)
Kegiatan menginspirasi berakhirpukul 12.30. Lela dan lapar terbayar sudah ketika bapak/ibu guru menjamu kami dengan kue-kue dan makanan yang meningkatkan selera makan. Saya ingin menyebutkan makanannya, tapi tak usahlah. Nanti kamu malah lapar. Lapar itu berat loh.


The last cekrek sebelum pulang (Pict. Kak Raka)

Selanjutnya kami langsung mempersiapkan diri menuju lokasi refleksi. Entah nama sekolahnya apa. Tapi lokasinya lumayan jauh dari lokasi semua tim. and tada... how suprised I am. Ada banyak orang dengan style yang berbeda. Beberapa nampak kukenali. Ada yang pernah bertemu langsung atau sekadar tahu di sosial media. Mereka pemuda-pemuda keren yang meluangkan waktunya untuk berbagi menginspirasi anak-anak di sekolah, terkhusus di daerah pelosok. Saya suka. Saya suka. Jadi relawan tuh bikin betah. Bisa ketemu dan kenal banyak orang. Kalian hebat.  
I am glad to know all of you guys.











Rabu, 20 Desember 2017

Tentang Kepergian


Menjenguk Kakek (pict. Nurmadiana Mahmud)

Ketika roh pergi meninggalkan jasadnya.
Maka kau tak akan menemukan mereka lagi di sekitarmu.
 
Belakangan terakhir saya berpikir tentang kepergian. Mengingat kembali bahwa kematian adalah hal yang paling terdekat dengan kita, manusia. Dan itu adalah mutlak. Setiap yang bernyawa akan mati. Sekadar pengingat dikala aku sendiri. Ketika pagi menyapa, maka hal pertama yang terlintas adalah kematian, jalan menuju kehidupan selanjutnya. Bukankah untuk menyambangi akhirat, kita harus mati dulu ?

Saya tidak bisa menghitung kepergian yang telah menghampiri kita. Kepergian dengan iringan kesedihan. Semua memiliki kenangannya masing-masing yang kemudian kita doakan. Semoga mereka diberikan pengampunan dosa dan mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya. Termasuk kita, nanti.

Bulan November 2017, kepergian seorang membuat pipiku sembab di tengah malam. Seseorang yang tidak pernah terlintas di pikiranku akan pergi begitu cepat. Kami bertemu hanya sekali, di hari pertama di pergantian tahun, 2015. Selanjutnya tak ada pertemuan kedua seperti yang kami rencanakan. Kepergian melakoni perannya. Namun untuk menemukannya aku hanya memandang lagit tinggi, sambil menyapa menanyakan kabarnya.

Di penghujung tahun 2017, Desember, sekelompok orang menyiyir kepergian seseorang. Bagi mereka kepergian orang itu tak pantas tuk ditangisi, jika dibandingkan dengan mereka yang mati berjuang di negara sana. Kita tak perlu membandingkannya. Kita pun sama-sama berjuang mengarungi hidup. Lantas, apa sebab yang membuat kita melarang orang bersedih ? Mereka memiliki hak untuk berduka terhadap kepergian orang-orang yang mereka kasihi. Nyawa adalah nyawa. Sekali melayang, ia tak akan kembali. Tetapi, tak usah berlarut dan tenggelam dalam duka, hingga kau pun ingin segera pergi menyusulnya. Bodoh.

Kelak, akan ada orang. Entah kau menginginkannya atau tidak. Mereka akan menangisi kepergianmu. Itu karena, kamu ada dalam perjalanan hidup mereka. Yang kini menjadi kenangan lalu didoakan.


Campalagian, 20 Desember 2017

Senin, 11 Desember 2017

Berburu Rezeki di Sabtu Minggu

Bopan House
       Di zaman yang serba digital ini, orang-orang tentu menginginkan hal yang instan termasuk soal kebutuhan perut. Sejak marakanya jasa antar makanan dan minuman di kota-kota, pola konsumen pun juga berubah. Banyak yang memilih makanan dan minuman siap antar dari pada berkunjung ke gerainya. Oleh sebabnya, saya dituntut bekerja semaksimal dan sekreatif mungkin di dunia pa’baluang ini.

       Hampir sebulan, setelah tugas mengajar saya tuntas di salah satu MTS di Polewali Mandar, akhirnya saya berkecimpung di dunia pa’baluang alias perdagangan. Eit, bukan perdagangan manusia loh, tapi semacam jual minuman dan snack di pinggiran pantai. Karena aktivitas ngajar di kursusan tidak terlalu padat, saya memutuskan untuk mengelola kafe pantai milik keluarga kami. Sebelumnya kafe tersebut dikelola sama salah satu adik saya, tapi berhubung dianya lagi ada agenda perjalanan yang memakan waktu cukup lama, jadinya sementara pengelolaan saya ambil alih.

Nyantai di Bopan House (Pict.Putra)
       Menjadi pa’balu (penjual) bukanlah pekerjaan yang mudah. Meski kau hanya duduk menunggu pelanggan, tapi ada kecemasan berlebih jika barang daganganmu tidak terjajakan. Ini bukan soal untung rugi, tapi penghidupan keluarga. Bayangkan saja jika itu adalah satu-satunya caramu tuk menghidupi keluarga. Bukankah itu sangat mengkhawatirkan ? Rezki memang sudah ada yang atur. Tapi ia tak datang dengan sekonyong-konyongnya. Selalu ada usaha berlebih dibaliknya. Populernya orang menyebutnya hasil tidak akan pernah menghianati usaha.

Blue Ocean (Pict. Putra)
       Untuk mencapai sesuatu, terkadang kita harus mengorbankan sesuatu yang lain. Nah, berhubung lokasi Bopan House terletak di pinggir pantai, saya harus merelakan kulit ini berubah menjadi lebih gelap. Setiap hari Sabtu dan Minggu saya akan nangkring di Bopan Haouse hingga matahari tenggelam. Ini merupakan konsekuensi yang harus saya terima. Dan ini belum seberapa, jika dibandingkan dengan orang-orang yang menggantungkan kehidupannya pada lautan (Nelayan). Terlebih Bopan house hanya buka di hari Sabtu dan Minggu. Almsot every day, mereka harus mencari ikan, entah itu pagi atau siang bolong sekalipun. Beruntung jika mendapatkan tangkapan yang banyak, tapi kalau tidak, pasti sangat menyedihkan. Bagi mereka yang terpenting adalah penghidupan keluarga. Karena penghidupan keluarga adalah segalanya. Tetap bersyukur, InsyaAllah semuanya kaan baik-baik saja. 


*Mampir ke Bopan House yah. Open only on Saturday and Sunday ^_^
  Sangkyu...


Kamis, 07 Desember 2017

Trip Dadakan ke Pulau Podang-podang

Seru-seruan bersama Ancis, Kak Uswah, dan adik-adik pulau Podang-podang di Pulau Langakadea
       Langit begitu cerah. Rutinitas pagi di hari libur tetap menjadi agenda awal meyambut Sabtu. Apalagi kalau bukan ngopi, sembari membaca novel di teras kost. Serasa pagi hanya milikku, penghuni kost satupun tidak ada yang berciut. Segalanya terasa sunyi melompong. Dan ini menjadi salah satu keuntungan bagiku. Berasa duduk di beranda rumah sendiri. Tapi honestly kali itu benar-benar sunyi, atau saya saja yang kepagian ngopi. Entahlah. Biasanya kalau nongkrong di teras, saya akan melihat aktivitas pagi pengerajin mable di depan kost atau paling tidak melihat bapak dosen yang tengah mengeluarkan mobil dari bagasinya. Sungguh waktu itu  hanya udara sejuk yang menemani. Kendati demikian, saya tak pernah mengambil pusing. Moment itu benar-benar kumanfaatkan untuk menikmati Sabtu pagi di kost tanpa nama ini. 

“Line!”
       Bunyi pesan singkat masuk di Hpku. Sempat beberapa detik saya diamkan, dengan maksud ingin fokus membaca. Namun karena keponya nggak ketulungan, akhirnya hp yang kusimpan berjarak semester dariku akhirnya kuraih juga, lalu menekan tombol password hp. “How odd” pikirku. Ini terlalu pagi salah satu tema seposko KKN menanyakan hal ini.

“Yuuk, jadi ke pulau?” tanyanya.
Saya memandangi pesan itu sepereskian detik hingga akhirnya membalas dengan satu kalimat.
“Nggak kayaknya. Temanku nggak ada yang bisa.”
Ayah kayaknya bakal nyebrang ke pulau deh. Mau ikutan nda? Berdua aja. Trip romantis gitu. Mau?” tanyanya seolah meyakinkan. 
Tanpa berpikir panjang. Dengan hati yang sangat gembira, saya langsung membalas. “Mau banget.” Tegasku dalam pesan line yang tak terduga itu. 

       Setelah saling berbalas line, memikirkan hal-hal yang perlu dipersiapakan, saya dan Ancis (temanku ini) fix melakukan perjalanan ke dua pulau dengan berbagai pertimbangan dan hal-hal yang kemungkinan bakal terjadi. Terlepas dari ketidakasiapan keberangkatan, kami sepakat untuk merancanakan trip dadakan ini setelah kami tiba di Pangkep. Karena nggak adanya kendaraan peribadi, kami menggunakan angkutan umum, pete-pete menuju Pangkep. Jadi kami harus naik turun pete-pete sebanyak tiga kali. Pertama di lokasi janjian kami, di depan gedung miring Telkomsel di Jl. Petttarani, Makassar. Jadi kami mengambil pete-pete berkode E jurusan IKIP lalu berhenti di fly over dengan merogoh kocek 5K. Setelahnya, kami lalu mengambil pete-pete berkode D berlabel ungu jurusan Sudiang. Pete-pete ke dua ini, masing-masing kami membayar 6K. Lalu kami mencari pete-pete jurusan Pangkep dan membayar 15K  untuk setiap penumpangnya. Jadi kalau ditotal, biaya transport yang saya keluarkan itu 56K dengan tambahan sewa bentor 20K. Jadi total keseluruhan itu sebesar 76K. Biaya ini belum termasuk biaya sewa kapal. Sekitar jam 10.00 Wita kami berangkat dan tiba jam 12.10 Wita di kediaman ancis. Setelah berisitirahat sejenak, kami langsung menuju ke pasar untuk mencari kapal yang menuju pulau Podang-podang. Setalah mencari, akhirnya ada kapal yang akan segera berangkat, tanpa babibu kami langsung kembali ke kediaman ancis untuk mengambil barang.

       Perjalanan yang menyenangkan. Saya belum pernah mengarungi lautan sejuah ini. Padahal sewaktu kecil, boro-boro naik kapal, liat kapal gedde aja bikin serrem (efek nonton titanic). Tapi kali ini benar-benar beda, saya sangat menikmati perjalanan ini. Nggak nyangka aja, tanpa persiapan yang ribet, tiba-tiba kami main cuss aja ke pulau, padahal jaraknya lumayan jauh. Kami bahkan melewati kapal-kapal besar di tengah lautan yang tengah berkumpul. Bayangin aja, kapal kami yang geddenya biasa saja melintas di depan kapal besar yang berkali lipat lebih besar dari yang kami tumpangi. O…begini toh rasaya. Ini mungkin bukan kali pertama buatku naik kapal meyebrang pulau. Tapi setiap perjalanan yag kulalui dan hal-hal yang kulihat serasa baru bagiku. Aromanya udara waktu itu aja beda (seolah-olah). 

       Perahu kemudian disandarkan oleh Bapak yang kami sebut daeng. Dan welcome to myself. Rasanya pengen teriak karena agenda trip dadakan benar terjadi. Maklum kalo buat egenda jauh-jauh hari biasanya jarang terwujud. Hehehhe.Untuk naik kapal hingga ke Podang-podang hanya membayar 10k. Jadi kalau bolak-balik jadinya 20K. Menurut saya itu terbilang murah, mengingat perjalalan yang kami tempuh jauhnya SubhanaAllah. Dan Bapak Daeng untuk kali ini memberikan kami tumpangan gratis. Antara enak nggak enak sih. Tapi sudahlah, rezeki anak kost-kostan memang (bersyukur). 

       Saya selalu menyukai lingkungan masyarakat seperti ini. Hidup di atas tanah yang luasnya nggak seberapa, tapi kebahagiaan terpancar luar biasa dari tempat ini. Bak garis batas, rumah panggung berjejer rapi (dua baris) mengikuti garis pulau. Di tengah-tengah dijadikan lapangan dan dimanfaatkan juga sebagai tempat menjemur hasil tangkapan laut warga. Di lapangan inilah anak-anak pulau menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya, macam naik sepeda, main volley, atau main sepak bola. Sungguh  suatu kesyukuran bisa melihat mereka tertawa lepas. Oiya, saya juga disambut baik oleh para anak-anak setempat. Mereka dalah siswa-siswa Bapak dan Kakanya Ancis, that’s why Ancis ngajak saya kesini. Karena keluarga mereka sudah sering mengunjungi pulau tersebut. Tempat yang kami tinggali pun adalah rumah salah satu warga yang sering ditempati keluarganya Ancis kalau mereka menginap di pulau ini. Pengalaman yang sangat menyenangkan. 

       Saya menghabiskan dua malam tiga hari di pualu itu. Setiap pagi dan menjelang sore saya dan Ancis menikmati birunya laut dan langit. Ditambah dengan senja yang sempurna, memanjakan mata kami. Tak lupa para siswa juga mengajak kami mencicipi laut di pulau sebelah, Pulau Langkadea. Sungguh pemandangan yang sempurna. Pasirnya, pohonya, rantingnya, air lautnya, MasyaAllah perpaduan design alam yang luar bisa. Terima kasih siswa yang mengantarkan kami secara percuma ke pulau Langkadea. Terima kasih untuk oleh-oleh ikan asinnya Ibu warga. Semoga next time saya bisa berkunjung kembali. 

                                                                                Pulau Podang-podang nampak dari luar
                                                         Menikmati udara pagi di pinggiran dermaga (Pict. Ancis)
Dermaga utama

Pemandangan di Pulau Langakandea (Pict. Ancis)


Jumat, 27 Januari 2017

Lelaki Tua yang Kebingungan


Salah seorang warga Uru, Enrekang yang tengah istirahat (Yuuka)



Dia nampak begitu kelelahan. Dari wajahnya saja, tergambar rasa capek yang luar biasa. Seorang lelaki tua, bercelana panjang warna hitam berlalu lalang di area kampus. Di bahu kanannya terselempang sebuah tas besar hitam, mungkin berisi jualan yang ia jajajakan sepanjang jalan. Lagi, ia nampak sangat kelelahan, bajunya yang mulai basah sebab keringat yang merembes dari pori-porinya. Jelas, ia pun juga sangat kebingungan. Ini mungkin kali pertama baginya, memasuki area kampus ungu ini. Dan ini pula pertama kali bagiku, menangkap sosok lelaki tua yang nampak lelah dan kebingungan di area ini.

Minggu, 26 Juni 2016

Gadis Yang Tersesat



Jangan menyerah…
Jangan pernah menyerah…

Setelah hari ini kamu akan baik-baik saja
Saat matahari esok terbit, semuanya akan kembali normal

Jangan takut…
Jangan pernah merasa takut

Kami masih di sini
Dan akan tetap di sini
Tak perlu memanggil saat membutuhkan kami
Kami tahu, kami tahu…

Bersabarlah..
Kamu hanya terlibat dalam sebuah petualangan
Tersesat adalah hal wajar..
Jadi bersabarlah…

Karena pada akhirnya…
kamu akan menemuakan jalanmu
kamu, gadis yang tersesat

Uru, 8 Mei 2016