Selasa, 16 Februari 2016

My age, My Self


Kemarin saat hujan jatuh tanpa spasi, kaki ini melangkah lebih banyak dari biasanya. Mengitari kompleks belakang kampus UNM Parang Tambung dan melewati genangan-genangan air di bahu jalan. Sesekali mata ini mengitip keluar di balik payung, “Apa gerangan yang terjadi di sekitarku?” Tidak ada keriuhan, hanya ada daeng bentor yang tengah meringkuk dalam bentornya demi menghindari hujan. Iya, hujan turun sangat deras. Suaranya menggebu di atap-atap rumah yang kulalui. Namun sayang hujan ini jatuh tanpa sambutan. Jalan-jalan menjadi sunyi. Beberapa orang memilih bersembunyi di balik selimut, menunda aktivitas.

Tapi tidak denganku. Meski hujan jatuh sebegitu dahsyatnya, saya tetap memilih jalan yang lebih jauh dari jalan yang biasa kulalui. Kalau biasanya saya pulang lewat gerbang teknik belakang, kali ini saya memilih jalur gerbang FBS (Fakultas Bahasa & Sastra) belakang.Cukup lumayan jauh, namun kaki ini tak bisa kuhentikan untuk tetap melangkah pulang melalui jalur itu.


Tepat di hari itu pula (Jum’at, 12 Februari 2016), saat hujan turun memeluk bumi, usiaku bertambah satu menjadi 23 tahun. Kenangan baik dan buruk perlahan menampakkan dirinya di ingatanku. Hanya saja hujan membuyarkan segalanya. Gemerciknya terlalu indah untuk dilewatkan. Ya, saya tak pernah berhenti melihat apa-apa saja yang ada di sekitarku. Mulai dari daeng bentor tadi, anak-anak yang tengah bermain dengan hujan, hingga mata saya tertuju pada seorang bapak yang tengah mengaduk-aduk sampah.

Potret satu ini begitu menarik. Saya menyukai potret humanis. Selalu ada rasa syukur berlebih ketika melihat hal-hal seperti itu. Bayangkan saja ketika beberapa orang mungkin tengah santai menyeruput kopi panas ditemani sepiring gorengan, si bapak malah harus bekerja, berjibaku dengan sampah-sampah. Agak gimana gitu, ngebayangin si bapak musti kerja seperti itu setiap hari. Terima Kasih bapak 


Di sepanjang jalan pikiran saya juga tak lepas dari dia. Dia yang kumaksud adalah akang Rio. Lucu rasanya dibuat suka sama orang yang tak pernah bertatap sama sekali. Saya pun juga bingung, kok itu bisa sampai terjadi. Orang yang dekat disekitarku malah menyuruh saya bangun dari mimpi. Bahkan di hari ulang tahunku kakaku sendiri berdoa agar saya cepat move on dari dia, tentu mencari standar-standar saja katanya. Apa mereka nggak tahu, ini bukan perihal standar, terlalu cakep, impossible nothing, atau apapun itu. Hanya saja suka saya ke dia itu lahir secara murni.

“Cinta itu bukan kesepakatan. Diterima atau nggak diterima itu wajar”

Saya pun paham konsekuensi menyukai orang seperti dia. Ah sudahlah, saya hanya berdoa impiannya untuk berlaga di tingkat F1 benar-benar terwujud. Dia berhak mendapat apresiasi dari pemerintah. Usahnya yang pantang menyerah dan kecintaanya pada Indonesia. Zaman kini, jika beberapa orang memintanya untuk pondah kewarganegaraan, ia tetap kekeh untuk di Indonesia. Lucu dengan saran orang-orang tersebut, saya mungkin tidak mengenal Rio, tapi dia bukan tipekal orang yang mudah meninggalkan. Apalagi untuk meninggalkan Indonesia, tanah kelahirannya sendiri. Tempat diamana keluarganya tumbuh memupuk kebahagiaan. Saat ini saya hanya berharap di usia dia yang juga 23 tahun, dia tentu menjadi inspiring person bagi kita orang Indonesia, kusus bagi anak-ank kecil. Berprestasi tuh nggak melulu soal nilai bagus di mata pelajaran excat. Punya kelebihan di bidang tertentu kayak si akang juga bisa menjadi prestasi yang sangat luar biasa.

3 komentar :

  1. Hahah... Dian Dian... agak nggak nyambung, tapi saya suka sekali. Good Job..

    BalasHapus
  2. Iya tuh. Dari ngebahas usia jatuhnya malah ke akang.
    ah' kurasa ini ulah rindu.

    BalasHapus
  3. Haha.. rindu sampe segitunya...

    BalasHapus