int. |
Liburan lebaran telah usai. Saatnya kembali ke
aktivitas biasanya. Pasca kecelakaan itu, saya mulai membatasi diri. Bukan
dalam hal pergaulan, tapi membatasi
aktivitas yang sangat mengundang lelah. Mendaki gunung misalnya. Sayang,
beberapa agenda yang telah terencana harus berakhir pada kata cancel. Sedih itu pasti. Namun, untuk
kesembuhan, hal-hal pahit pun harus terbiasakan.
***
Hampir saja keberangkatanku ke kota daeng tertunda.
Bagaimana tidak, mobil sewaan yang kutunggu hingga pukul 03.00 Wita ternyata
nggak jadi berangkat. Padahal ada urusan kampus yang harus diselesaikan.
Termasuk surat keterangan kuliah yang bikin kepalaku jadi mumet nggak karuan.
Akhirnya, Ummi (Ibuku) berinisiatif menelpon mobil sewaan lain yang berangkat
di bawah jam itu. Syukurnya, masih ada satu kursi yang masih kosong. Meski
dengan kaki belum pulih benar, berharap segala urusan bisa selesai sebelum
waktunya.
Selalu ada penyesalan mendalam saat kaki mulai
beranjak meninggalkan rumah. Penyesalan karena nggak melakukan hal-hal
bermanfaat. Penyesalan karena belum sempat mengunjungi beberapa tempat wisata.
Dan segala penyesalan akan harapan-harapan liburan lainnya. Tapi sudahlah, ada
hal yang jauh lebih penting. Karena ini soal masa depan.
Nggak kerasa, mobil yang menjemputku pun tiba.
Kuraih tangan ke dua orang tuaku lalu menciumnya dan melambaikan tangan
padanya. Berharap, esok masih mempertemukan kita. Lalu pelan-pelan dengan kaki
yang belum kuat, kuangkat kaki kananku terlebih dahulu. Ada lelah bertubi
menyerangku. Sumpah, untuk mengangkat kaki kanan saja, aku harus mengeluarkan
tenaga ekstra. Perlahan kuatur napasku seiring laju ban mobil. Sampai jumpa
kampung halaman. Tunggu aku kembal.
Dalam mobil itu ternyata tidak padat penumpang.
Hanya ada saya yang duduk manis di belakang sopir. Lalu ada adik junior, mengambil
bagian di samping sopir. Disampingku hanya ada bapak-bapak dengan sesuatu
berbungkuskan koran di tangannya. Dan di belakang, hanya ada setumpuk barang
dengan seorang perempuan muda dan anaknya yang masih berusia dua tahun. Lalu
ada pak sopir tentunya yang siap mengantarkan kami.
Bosan menghampiriku. Kupandangi sisi kananku,
bermaksud mencari sesuatu yang sekiranya bias memecah kebosanan. Sayangnya aku
tak menemukan itu. Yang ada, pikiranku kembali terbang ke masa lalu. Saat dia masih
bersamaku. Ah’ sudahlah, kurasa dia adalah lembaran-lembaran yang harus sobek
dalam sebuah buku. Toh, someday,
penyesalan akan meyadarkannya. Itupun kalau iya. Kalau nggak sadar-sadar, juga
nggak apa-apa kok.
Sesuatu tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku. Isakan
tangis terseduh tak tertahan terdengar nyaring dari belakang. Oh My God, ternyata perempuan muda yang
hampir sebayaku masih berkabung sedih. Selepas berangkat tadi, perempuan itu
masih tak bisa mengucapakan sampai jumpa pada ayahnya. Munkin sejak kecil, dia
begitu akrab dengan ayahnya. Jadi, mau pergi jauh pasti terasa berat. Aku mah’
udah biasa. Udah ditempah dari kecil. Hidup sama nenek bukanlah hal yang tidak
menyenangkan. Aku sangat menyukai kehidupanku. Berselang kemudian, akhirnya
isakan tangis itu tak terdengar lagi. Perempuan itu dan anaknya tertidur pulas.
Kelelahan nampak di raut wajahnya. Kasihan, berharap mereka tetap baik-baik
saja.
***
Legah rasanya, sore itu hamparan laut begitu indah. Belum lagi senja yang mengapung
di atasnya. Tak heran, jika pengguna kendaraan bermotor menghiasi jalur
perbatasan Polewali Mandar dan Pinrang. Rupanya lukisan Tuhan satu ini memang
tak layak untuk dilewatkan. Beberapa dari mereka mencoba mengabadikan potret
senja dengan kamera hapenya. Lalu, ada juga dua tiga orang yang menyempatkan
berselfie. Ada juga yang tegak
berdiri sambil mengucap syukur akan keindahan itu. Masya Allah, it’s awesome. Bahkan, dari balik kaca
jendela mobil ini, saya bisa merasakan kehangatan senja menerpaku. I feel the warmness.
Perjalanan berlanjut hingga cerita senja tadi mengantarkan kami pada tugu
selamat jalan Polewali Mandar. I’ll come
back soon my lovely hometown. Senja memang membius penikmatnya. Sampai
lupa, aku tak sendiri di perjalanan ini. Ada igunana kecil yang menempel
padaku. Aku menganggapnya sebagai adikku. Selama perjalanan, iguana kecil ini
tak henti-hentinya bersin. Aku bahkan tidak bisa menghitungnya. Untung saja
perempuan di sampingku yang baru saja naik ini tidak menyadarinya. Syukurlah…
Mobil pun melaju kencang menelisik diantara
kendaraan-kendaraan di jalur yang sama. Dalam perjalanan, mobil lagi-lagi
berhenti mengambil seorang penumpang. Kali ini penumpangnya juga sebaya
denganku. Ia mengambil posisi di belakang bersama perempuan dan anaknya itu.
Aku tak melihat ada banyak barang yang dibawanya. Yang kulihat hanya gitar yang
tertutup rapi, terselempang di sampingnya. Kurasa dia pemusik. Karena gitar itu
beraurakan cinta. Sangat terawat. Mungkin dia benar-benar pemusik.
Nggak lama setelahnya, perempuan tak berjilbab di
sampingku itu turun. Kupikir dia akan melanjutkan perjalanan hingga ke kota
daeng. Ternyata dia hanya setengah jalan dari tujuan kami. Akhirnya si pemuda
sebayaku itu pindah dan mengambil posisi di sampingku. Awalnya agak risih juga
sih. Tapi pemakluman muncul, tersadar kalau mobil ini bukan mobil pribadi, tapi
sewaan. Jadi duduk berseblahan dengan siapapun harus rela. Saya sih nggak apa,
cuman saja Kambaco (Iguana kecil) ini
bersin melulu. Aku tentu merasa tidak enak dengan seseorang di sampingku ini. Terlebih
cipratan bersin Kambaco menghambur ke lengannya. Gomen ne…
Namun tak sedikitpun kata-kata terlontar dari
mulutnya. Bahkan ketika mobil berhenti untuk istirahat, ia sama sekali tak
mengatakan sesuatu atau bertanya sesuatu. Aku malah bingung kenapa orang ini
malah diam seribu bahasa. Biasanya seseorang akan bertanya, “Apa itu?” atau
apapun itu. Ini malah tidak bertanya apapun. Kami hanya beku satu sama lain.
Rasa kepoku
mencuat di permukaan.
“Siapa dia?”
“Kuliah di mana dia?”
“Apa dia benar-benar pemain musik?”
Berbagai pertanyaan menggelayat di pikiranku. Maklum
saja. Saya tipekal orang senang berteman, apalagi kalau itu kenalan baru. Ada
banyak hal pasti yang dapat didiskusikan. Tapi sayang, aku tidak tahu namanya.
Sedikit pun tentangnya.
I don’t know him totally. “Who are you?”
Yang kutahu dia tinggal tidak jauh dari warung coto
gagak. Soalnya, dia berhenti di tempat itu. Tepatnya lorong yang berseberangan
dengan warung itu. Entah dia siapa. Terakhir, dia mengucapkan terima kasih
karena jaketnya yang kuambilkan saat ia hendak turun dari mobil. Hampir saja
ketinggalan. Maybe dilain waktu, aku
akan mengenalmu dan menjadi teman.
0 komentar :
Posting Komentar