Minggu, 23 Agustus 2015

Who Are You ??


int.

Liburan lebaran telah usai. Saatnya kembali ke aktivitas biasanya. Pasca kecelakaan itu, saya mulai membatasi diri. Bukan dalam hal pergaulan, tapi  membatasi aktivitas yang sangat mengundang lelah. Mendaki gunung misalnya. Sayang, beberapa agenda yang telah terencana harus berakhir pada kata cancel. Sedih itu pasti. Namun, untuk kesembuhan, hal-hal pahit pun harus terbiasakan.

***
                                                                        
Hampir saja keberangkatanku ke kota daeng tertunda. Bagaimana tidak, mobil sewaan yang kutunggu hingga pukul 03.00 Wita ternyata nggak jadi berangkat. Padahal ada urusan kampus yang harus diselesaikan. Termasuk surat keterangan kuliah yang bikin kepalaku jadi mumet nggak karuan. Akhirnya, Ummi (Ibuku) berinisiatif menelpon mobil sewaan lain yang berangkat di bawah jam itu. Syukurnya, masih ada satu kursi yang masih kosong. Meski dengan kaki belum pulih benar, berharap segala urusan bisa selesai sebelum waktunya. 


Selalu ada penyesalan mendalam saat kaki mulai beranjak meninggalkan rumah. Penyesalan karena nggak melakukan hal-hal bermanfaat. Penyesalan karena belum sempat mengunjungi beberapa tempat wisata. Dan segala penyesalan akan harapan-harapan liburan lainnya. Tapi sudahlah, ada hal yang jauh lebih penting. Karena ini soal masa depan.

Nggak kerasa, mobil yang menjemputku pun tiba. Kuraih tangan ke dua orang tuaku lalu menciumnya dan melambaikan tangan padanya. Berharap, esok masih mempertemukan kita. Lalu pelan-pelan dengan kaki yang belum kuat, kuangkat kaki kananku terlebih dahulu. Ada lelah bertubi menyerangku. Sumpah, untuk mengangkat kaki kanan saja, aku harus mengeluarkan tenaga ekstra. Perlahan kuatur napasku seiring laju ban mobil. Sampai jumpa kampung halaman. Tunggu aku kembal.

Dalam mobil itu ternyata tidak padat penumpang. Hanya ada saya yang duduk manis di belakang sopir. Lalu ada adik junior, mengambil bagian di samping sopir. Disampingku hanya ada bapak-bapak dengan sesuatu berbungkuskan koran di tangannya. Dan di belakang, hanya ada setumpuk barang dengan seorang perempuan muda dan anaknya yang masih berusia dua tahun. Lalu ada pak sopir tentunya yang siap mengantarkan kami. 

Bosan menghampiriku. Kupandangi sisi kananku, bermaksud mencari sesuatu yang sekiranya bias memecah kebosanan. Sayangnya aku tak menemukan itu. Yang ada, pikiranku kembali terbang ke masa lalu. Saat dia masih bersamaku. Ah’ sudahlah, kurasa dia adalah lembaran-lembaran yang harus sobek dalam sebuah buku. Toh, someday, penyesalan akan meyadarkannya. Itupun kalau iya. Kalau nggak sadar-sadar, juga nggak apa-apa kok.

Sesuatu tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku. Isakan tangis terseduh tak tertahan terdengar nyaring dari belakang. Oh My God, ternyata perempuan muda yang hampir sebayaku masih berkabung sedih. Selepas berangkat tadi, perempuan itu masih tak bisa mengucapakan sampai jumpa pada ayahnya. Munkin sejak kecil, dia begitu akrab dengan ayahnya. Jadi, mau pergi jauh pasti terasa berat. Aku mah’ udah biasa. Udah ditempah dari kecil. Hidup sama nenek bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Aku sangat menyukai kehidupanku. Berselang kemudian, akhirnya isakan tangis itu tak terdengar lagi. Perempuan itu dan anaknya tertidur pulas. Kelelahan nampak di raut wajahnya. Kasihan, berharap mereka tetap baik-baik saja. 

***

Legah rasanya, sore itu hamparan laut  begitu indah. Belum lagi senja yang mengapung di atasnya. Tak heran, jika pengguna kendaraan bermotor menghiasi jalur perbatasan Polewali Mandar dan Pinrang. Rupanya lukisan Tuhan satu ini memang tak layak untuk dilewatkan. Beberapa dari mereka mencoba mengabadikan potret senja dengan kamera hapenya. Lalu, ada juga dua tiga orang yang menyempatkan berselfie. Ada juga yang tegak berdiri sambil mengucap syukur akan keindahan itu. Masya Allah, it’s awesome. Bahkan, dari balik kaca jendela mobil ini, saya bisa merasakan kehangatan senja menerpaku. I feel the warmness.
Perjalanan berlanjut hingga  cerita senja tadi mengantarkan kami pada tugu selamat jalan Polewali Mandar. I’ll come back soon my lovely hometown. Senja memang membius penikmatnya. Sampai lupa, aku tak sendiri di perjalanan ini. Ada igunana kecil yang menempel padaku. Aku menganggapnya sebagai adikku. Selama perjalanan, iguana kecil ini tak henti-hentinya bersin. Aku bahkan tidak bisa menghitungnya. Untung saja perempuan di sampingku yang baru saja naik ini tidak menyadarinya. Syukurlah…

Mobil pun melaju kencang menelisik diantara kendaraan-kendaraan di jalur yang sama. Dalam perjalanan, mobil lagi-lagi berhenti mengambil seorang penumpang. Kali ini penumpangnya juga sebaya denganku. Ia mengambil posisi di belakang bersama perempuan dan anaknya itu. Aku tak melihat ada banyak barang yang dibawanya. Yang kulihat hanya gitar yang tertutup rapi, terselempang di sampingnya. Kurasa dia pemusik. Karena gitar itu beraurakan cinta. Sangat terawat. Mungkin dia benar-benar pemusik. 

Nggak lama setelahnya, perempuan tak berjilbab di sampingku itu turun. Kupikir dia akan melanjutkan perjalanan hingga ke kota daeng. Ternyata dia hanya setengah jalan dari tujuan kami. Akhirnya si pemuda sebayaku itu pindah dan mengambil posisi di sampingku. Awalnya agak risih juga sih. Tapi pemakluman muncul, tersadar kalau mobil ini bukan mobil pribadi, tapi sewaan. Jadi duduk berseblahan dengan siapapun harus rela. Saya sih nggak apa, cuman saja Kambaco (Iguana  kecil) ini bersin melulu. Aku tentu merasa tidak enak dengan seseorang di sampingku ini. Terlebih cipratan bersin Kambaco menghambur ke lengannya. Gomen ne… 

Namun tak sedikitpun kata-kata terlontar dari mulutnya. Bahkan ketika mobil berhenti untuk istirahat, ia sama sekali tak mengatakan sesuatu atau bertanya sesuatu. Aku malah bingung kenapa orang ini malah diam seribu bahasa. Biasanya seseorang akan bertanya, “Apa itu?” atau apapun itu. Ini malah tidak bertanya apapun. Kami hanya beku satu sama lain.
Rasa kepoku mencuat di permukaan. 

“Siapa dia?”

“Kuliah di mana dia?”

“Apa dia benar-benar pemain musik?”

Berbagai pertanyaan menggelayat di pikiranku. Maklum saja. Saya tipekal orang senang berteman, apalagi kalau itu kenalan baru. Ada banyak hal pasti yang dapat didiskusikan. Tapi sayang, aku tidak tahu namanya. Sedikit pun tentangnya.

 I don’t know him totally. “Who are you?”


Yang kutahu dia tinggal tidak jauh dari warung coto gagak. Soalnya, dia berhenti di tempat itu. Tepatnya lorong yang berseberangan dengan warung itu. Entah dia siapa. Terakhir, dia mengucapkan terima kasih karena jaketnya yang kuambilkan saat ia hendak turun dari mobil. Hampir saja ketinggalan. Maybe dilain waktu, aku akan mengenalmu dan menjadi teman. 

0 komentar :

Posting Komentar