Salah seorang warga Uru, Enrekang yang tengah istirahat (Yuuka) |
Dia
nampak begitu kelelahan. Dari wajahnya saja, tergambar rasa capek yang luar
biasa. Seorang lelaki tua, bercelana panjang warna hitam berlalu lalang di area
kampus. Di bahu kanannya terselempang sebuah tas besar hitam, mungkin berisi
jualan yang ia jajajakan sepanjang jalan. Lagi, ia nampak sangat kelelahan,
bajunya yang mulai basah sebab keringat yang merembes dari pori-porinya. Jelas,
ia pun juga sangat kebingungan. Ini mungkin kali pertama baginya, memasuki area
kampus ungu ini. Dan ini pula pertama kali bagiku, menangkap sosok lelaki tua
yang nampak lelah dan kebingungan di area ini.
Di tengah obrolanku dengan teman-teman, mataku
tak sekalipun berhenti memerhatikannya. Bahkan sempat kulemparkan senyuman
tanda hormatku padanya. Ia, waktu itu hanya berjalan berputar mencari jalan ke
fakultas sebelah yang berbatas pagar. Sambil sesekali menengok sana sini,
pertanda ia benar-benar bingung. Saya hanya bisa menerka apa yang ia pikirkan
saat itu. Mungkin ia khawatir kalau-kalau ia pulang tak membawa apa-apa. Karena
di lain tempat ada seorang istri dan anak yang menunggu kepulangannya. Berharap
lelaki berbaju merah marun ini pulang ke rumah membawa sesuatu yang bisa
dinikmati sekeluarga, meski hanya sebungkus nasi. Pemandangan siang itu
membawa saya mengingat percakapan dengan kakak saya waktu itu.
“Dek, kau tahu satu hal
yang paling kusyukuri?” tanyanya padaku.
“Apa itu?” tanyaku
singkat.
“Pekerjaaan Bapak,”
jawabnya sambil menatap langit-langit kamar.
“Kenapa memang?”
tanyaku lagi.
“Setidaknya orang tidak
memandang rendah kita. Lihat saja di luar sana, ada banyak orang dianggap remeh
karena hanya pekerjaan orang tuanya,” terangnya.
Aku merenung.
Mengiyakan obrolan kami siang itu. Berharap semua bapak dan siapapun yang tengah
berjuang untuk keluarganya senantiasa diberikan kemudahan di setiap langkahnya.
Aamiin. Ah, aku rindu Bapak.
0 komentar :
Posting Komentar