Rabu, 20 Desember 2017

Tentang Kepergian


Menjenguk Kakek (pict. Nurmadiana Mahmud)

Ketika roh pergi meninggalkan jasadnya.
Maka kau tak akan menemukan mereka lagi di sekitarmu.
 
Belakangan terakhir saya berpikir tentang kepergian. Mengingat kembali bahwa kematian adalah hal yang paling terdekat dengan kita, manusia. Dan itu adalah mutlak. Setiap yang bernyawa akan mati. Sekadar pengingat dikala aku sendiri. Ketika pagi menyapa, maka hal pertama yang terlintas adalah kematian, jalan menuju kehidupan selanjutnya. Bukankah untuk menyambangi akhirat, kita harus mati dulu ?

Saya tidak bisa menghitung kepergian yang telah menghampiri kita. Kepergian dengan iringan kesedihan. Semua memiliki kenangannya masing-masing yang kemudian kita doakan. Semoga mereka diberikan pengampunan dosa dan mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya. Termasuk kita, nanti.

Bulan November 2017, kepergian seorang membuat pipiku sembab di tengah malam. Seseorang yang tidak pernah terlintas di pikiranku akan pergi begitu cepat. Kami bertemu hanya sekali, di hari pertama di pergantian tahun, 2015. Selanjutnya tak ada pertemuan kedua seperti yang kami rencanakan. Kepergian melakoni perannya. Namun untuk menemukannya aku hanya memandang lagit tinggi, sambil menyapa menanyakan kabarnya.

Di penghujung tahun 2017, Desember, sekelompok orang menyiyir kepergian seseorang. Bagi mereka kepergian orang itu tak pantas tuk ditangisi, jika dibandingkan dengan mereka yang mati berjuang di negara sana. Kita tak perlu membandingkannya. Kita pun sama-sama berjuang mengarungi hidup. Lantas, apa sebab yang membuat kita melarang orang bersedih ? Mereka memiliki hak untuk berduka terhadap kepergian orang-orang yang mereka kasihi. Nyawa adalah nyawa. Sekali melayang, ia tak akan kembali. Tetapi, tak usah berlarut dan tenggelam dalam duka, hingga kau pun ingin segera pergi menyusulnya. Bodoh.

Kelak, akan ada orang. Entah kau menginginkannya atau tidak. Mereka akan menangisi kepergianmu. Itu karena, kamu ada dalam perjalanan hidup mereka. Yang kini menjadi kenangan lalu didoakan.


Campalagian, 20 Desember 2017

Senin, 11 Desember 2017

Berburu Rezeki di Sabtu Minggu

Bopan House
       Di zaman yang serba digital ini, orang-orang tentu menginginkan hal yang instan termasuk soal kebutuhan perut. Sejak marakanya jasa antar makanan dan minuman di kota-kota, pola konsumen pun juga berubah. Banyak yang memilih makanan dan minuman siap antar dari pada berkunjung ke gerainya. Oleh sebabnya, saya dituntut bekerja semaksimal dan sekreatif mungkin di dunia pa’baluang ini.

       Hampir sebulan, setelah tugas mengajar saya tuntas di salah satu MTS di Polewali Mandar, akhirnya saya berkecimpung di dunia pa’baluang alias perdagangan. Eit, bukan perdagangan manusia loh, tapi semacam jual minuman dan snack di pinggiran pantai. Karena aktivitas ngajar di kursusan tidak terlalu padat, saya memutuskan untuk mengelola kafe pantai milik keluarga kami. Sebelumnya kafe tersebut dikelola sama salah satu adik saya, tapi berhubung dianya lagi ada agenda perjalanan yang memakan waktu cukup lama, jadinya sementara pengelolaan saya ambil alih.

Nyantai di Bopan House (Pict.Putra)
       Menjadi pa’balu (penjual) bukanlah pekerjaan yang mudah. Meski kau hanya duduk menunggu pelanggan, tapi ada kecemasan berlebih jika barang daganganmu tidak terjajakan. Ini bukan soal untung rugi, tapi penghidupan keluarga. Bayangkan saja jika itu adalah satu-satunya caramu tuk menghidupi keluarga. Bukankah itu sangat mengkhawatirkan ? Rezki memang sudah ada yang atur. Tapi ia tak datang dengan sekonyong-konyongnya. Selalu ada usaha berlebih dibaliknya. Populernya orang menyebutnya hasil tidak akan pernah menghianati usaha.

Blue Ocean (Pict. Putra)
       Untuk mencapai sesuatu, terkadang kita harus mengorbankan sesuatu yang lain. Nah, berhubung lokasi Bopan House terletak di pinggir pantai, saya harus merelakan kulit ini berubah menjadi lebih gelap. Setiap hari Sabtu dan Minggu saya akan nangkring di Bopan Haouse hingga matahari tenggelam. Ini merupakan konsekuensi yang harus saya terima. Dan ini belum seberapa, jika dibandingkan dengan orang-orang yang menggantungkan kehidupannya pada lautan (Nelayan). Terlebih Bopan house hanya buka di hari Sabtu dan Minggu. Almsot every day, mereka harus mencari ikan, entah itu pagi atau siang bolong sekalipun. Beruntung jika mendapatkan tangkapan yang banyak, tapi kalau tidak, pasti sangat menyedihkan. Bagi mereka yang terpenting adalah penghidupan keluarga. Karena penghidupan keluarga adalah segalanya. Tetap bersyukur, InsyaAllah semuanya kaan baik-baik saja. 


*Mampir ke Bopan House yah. Open only on Saturday and Sunday ^_^
  Sangkyu...


Kamis, 07 Desember 2017

Trip Dadakan ke Pulau Podang-podang

Seru-seruan bersama Ancis, Kak Uswah, dan adik-adik pulau Podang-podang di Pulau Langakadea
       Langit begitu cerah. Rutinitas pagi di hari libur tetap menjadi agenda awal meyambut Sabtu. Apalagi kalau bukan ngopi, sembari membaca novel di teras kost. Serasa pagi hanya milikku, penghuni kost satupun tidak ada yang berciut. Segalanya terasa sunyi melompong. Dan ini menjadi salah satu keuntungan bagiku. Berasa duduk di beranda rumah sendiri. Tapi honestly kali itu benar-benar sunyi, atau saya saja yang kepagian ngopi. Entahlah. Biasanya kalau nongkrong di teras, saya akan melihat aktivitas pagi pengerajin mable di depan kost atau paling tidak melihat bapak dosen yang tengah mengeluarkan mobil dari bagasinya. Sungguh waktu itu  hanya udara sejuk yang menemani. Kendati demikian, saya tak pernah mengambil pusing. Moment itu benar-benar kumanfaatkan untuk menikmati Sabtu pagi di kost tanpa nama ini. 

“Line!”
       Bunyi pesan singkat masuk di Hpku. Sempat beberapa detik saya diamkan, dengan maksud ingin fokus membaca. Namun karena keponya nggak ketulungan, akhirnya hp yang kusimpan berjarak semester dariku akhirnya kuraih juga, lalu menekan tombol password hp. “How odd” pikirku. Ini terlalu pagi salah satu tema seposko KKN menanyakan hal ini.

“Yuuk, jadi ke pulau?” tanyanya.
Saya memandangi pesan itu sepereskian detik hingga akhirnya membalas dengan satu kalimat.
“Nggak kayaknya. Temanku nggak ada yang bisa.”
Ayah kayaknya bakal nyebrang ke pulau deh. Mau ikutan nda? Berdua aja. Trip romantis gitu. Mau?” tanyanya seolah meyakinkan. 
Tanpa berpikir panjang. Dengan hati yang sangat gembira, saya langsung membalas. “Mau banget.” Tegasku dalam pesan line yang tak terduga itu. 

       Setelah saling berbalas line, memikirkan hal-hal yang perlu dipersiapakan, saya dan Ancis (temanku ini) fix melakukan perjalanan ke dua pulau dengan berbagai pertimbangan dan hal-hal yang kemungkinan bakal terjadi. Terlepas dari ketidakasiapan keberangkatan, kami sepakat untuk merancanakan trip dadakan ini setelah kami tiba di Pangkep. Karena nggak adanya kendaraan peribadi, kami menggunakan angkutan umum, pete-pete menuju Pangkep. Jadi kami harus naik turun pete-pete sebanyak tiga kali. Pertama di lokasi janjian kami, di depan gedung miring Telkomsel di Jl. Petttarani, Makassar. Jadi kami mengambil pete-pete berkode E jurusan IKIP lalu berhenti di fly over dengan merogoh kocek 5K. Setelahnya, kami lalu mengambil pete-pete berkode D berlabel ungu jurusan Sudiang. Pete-pete ke dua ini, masing-masing kami membayar 6K. Lalu kami mencari pete-pete jurusan Pangkep dan membayar 15K  untuk setiap penumpangnya. Jadi kalau ditotal, biaya transport yang saya keluarkan itu 56K dengan tambahan sewa bentor 20K. Jadi total keseluruhan itu sebesar 76K. Biaya ini belum termasuk biaya sewa kapal. Sekitar jam 10.00 Wita kami berangkat dan tiba jam 12.10 Wita di kediaman ancis. Setelah berisitirahat sejenak, kami langsung menuju ke pasar untuk mencari kapal yang menuju pulau Podang-podang. Setalah mencari, akhirnya ada kapal yang akan segera berangkat, tanpa babibu kami langsung kembali ke kediaman ancis untuk mengambil barang.

       Perjalanan yang menyenangkan. Saya belum pernah mengarungi lautan sejuah ini. Padahal sewaktu kecil, boro-boro naik kapal, liat kapal gedde aja bikin serrem (efek nonton titanic). Tapi kali ini benar-benar beda, saya sangat menikmati perjalanan ini. Nggak nyangka aja, tanpa persiapan yang ribet, tiba-tiba kami main cuss aja ke pulau, padahal jaraknya lumayan jauh. Kami bahkan melewati kapal-kapal besar di tengah lautan yang tengah berkumpul. Bayangin aja, kapal kami yang geddenya biasa saja melintas di depan kapal besar yang berkali lipat lebih besar dari yang kami tumpangi. O…begini toh rasaya. Ini mungkin bukan kali pertama buatku naik kapal meyebrang pulau. Tapi setiap perjalanan yag kulalui dan hal-hal yang kulihat serasa baru bagiku. Aromanya udara waktu itu aja beda (seolah-olah). 

       Perahu kemudian disandarkan oleh Bapak yang kami sebut daeng. Dan welcome to myself. Rasanya pengen teriak karena agenda trip dadakan benar terjadi. Maklum kalo buat egenda jauh-jauh hari biasanya jarang terwujud. Hehehhe.Untuk naik kapal hingga ke Podang-podang hanya membayar 10k. Jadi kalau bolak-balik jadinya 20K. Menurut saya itu terbilang murah, mengingat perjalalan yang kami tempuh jauhnya SubhanaAllah. Dan Bapak Daeng untuk kali ini memberikan kami tumpangan gratis. Antara enak nggak enak sih. Tapi sudahlah, rezeki anak kost-kostan memang (bersyukur). 

       Saya selalu menyukai lingkungan masyarakat seperti ini. Hidup di atas tanah yang luasnya nggak seberapa, tapi kebahagiaan terpancar luar biasa dari tempat ini. Bak garis batas, rumah panggung berjejer rapi (dua baris) mengikuti garis pulau. Di tengah-tengah dijadikan lapangan dan dimanfaatkan juga sebagai tempat menjemur hasil tangkapan laut warga. Di lapangan inilah anak-anak pulau menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya, macam naik sepeda, main volley, atau main sepak bola. Sungguh  suatu kesyukuran bisa melihat mereka tertawa lepas. Oiya, saya juga disambut baik oleh para anak-anak setempat. Mereka dalah siswa-siswa Bapak dan Kakanya Ancis, that’s why Ancis ngajak saya kesini. Karena keluarga mereka sudah sering mengunjungi pulau tersebut. Tempat yang kami tinggali pun adalah rumah salah satu warga yang sering ditempati keluarganya Ancis kalau mereka menginap di pulau ini. Pengalaman yang sangat menyenangkan. 

       Saya menghabiskan dua malam tiga hari di pualu itu. Setiap pagi dan menjelang sore saya dan Ancis menikmati birunya laut dan langit. Ditambah dengan senja yang sempurna, memanjakan mata kami. Tak lupa para siswa juga mengajak kami mencicipi laut di pulau sebelah, Pulau Langkadea. Sungguh pemandangan yang sempurna. Pasirnya, pohonya, rantingnya, air lautnya, MasyaAllah perpaduan design alam yang luar bisa. Terima kasih siswa yang mengantarkan kami secara percuma ke pulau Langkadea. Terima kasih untuk oleh-oleh ikan asinnya Ibu warga. Semoga next time saya bisa berkunjung kembali. 

                                                                                Pulau Podang-podang nampak dari luar
                                                         Menikmati udara pagi di pinggiran dermaga (Pict. Ancis)
Dermaga utama

Pemandangan di Pulau Langakandea (Pict. Ancis)


Jumat, 27 Januari 2017

Lelaki Tua yang Kebingungan


Salah seorang warga Uru, Enrekang yang tengah istirahat (Yuuka)



Dia nampak begitu kelelahan. Dari wajahnya saja, tergambar rasa capek yang luar biasa. Seorang lelaki tua, bercelana panjang warna hitam berlalu lalang di area kampus. Di bahu kanannya terselempang sebuah tas besar hitam, mungkin berisi jualan yang ia jajajakan sepanjang jalan. Lagi, ia nampak sangat kelelahan, bajunya yang mulai basah sebab keringat yang merembes dari pori-porinya. Jelas, ia pun juga sangat kebingungan. Ini mungkin kali pertama baginya, memasuki area kampus ungu ini. Dan ini pula pertama kali bagiku, menangkap sosok lelaki tua yang nampak lelah dan kebingungan di area ini.